Cari Dollar gratis

Friday, January 27, 2012

Sejarah Imam Al-Ghazali

Science, Economy, Technology, Style, and Fun


Sejarah Imam al-Ghazali
Imam Al Ghazali, sebuah nama yang tidak asing di telinga kaum muslimin. Tokoh terkemuka dalam kancah filsafat dan tasawuf. Memiliki pengaruh dan pemikiran yang telah menyebar ke seantero dunia Islam. Ironisnya sejarah dan perjalanan hidupnya masih terasa asing. Kebanyakan kaum muslimin belum mengerti. Berikut adalah sebagian sisi kehidupannya. Sehingga setiap kaum muslimin yang mengikutinya, hendaknya mengambil hikmah dari sejarah hidup beliau.
Nama, Nasab dan Kelahiran Beliau
Beliau bernama Muhammad bin Muhammad bin Muhammad bin Ahmad Ath Thusi, Abu Hamid Al Ghazali (Lihat Adz Dzahabi, Siyar A’lam Nubala’ 19/323 dan As Subki, Thabaqat Asy Syafi’iyah 6/191). Para ulama nasab berselisih dalam penyandaran nama Imam Al Ghazali. Sebagian mengatakan, bahwa penyandaran nama beliau kepada daerah Ghazalah di Thusi, tempat kelahiran beliau. Ini dikuatkan oleh Al Fayumi dalam Al Mishbah Al Munir. Penisbatan pendapat ini kepada salah seorang keturunan Al Ghazali. Yaitu Majdudin Muhammad bin Muhammad bin Muhyiddin Muhamad bin Abi Thahir Syarwan Syah bin Abul Fadhl bin Ubaidillah anaknya Situ Al Mana bintu Abu Hamid Al Ghazali yang mengatakan, bahwa telah salah orang yang menyandarkan nama kakek kami tersebut dengan ditasydid (Al Ghazzali).
Sebagian lagi mengatakan penyandaran nama beliau kepada pencaharian dan keahlian keluarganya yaitu menenun. Sehingga nisbatnya ditasydid (Al Ghazzali). Demikian pendapat Ibnul Atsir. Dan dinyatakan Imam Nawawi, “Tasydid dalam Al Ghazzali adalah yang benar.” Bahkan Ibnu Assam’ani mengingkari penyandaran nama yang pertama dan berkata, “Saya telah bertanya kepada penduduk Thusi tentang daerah Al Ghazalah, dan mereka mengingkari keberadaannya.” Ada yang berpendapat Al Ghazali adalah penyandaran nama kepada Ghazalah anak perempuan Ka’ab Al Akhbar, ini pendapat Al Khafaji.
Yang dijadikan sandaran para ahli nasab mutaakhirin adalah pendapat Ibnul Atsir dengan tasydid. Yaitu penyandaran nama kepada pekerjaan dan keahlian bapak dan kakeknya (Diringkas dari penjelasan pentahqiq kitab Thabaqat Asy Syafi’iyah dalam catatan kakinya 6/192-192). Dilahirkan di kota Thusi tahun 450 H dan memiliki seorang saudara yang bernama Ahmad (Lihat Adz Dzahabi, Siyar A’lam Nubala’ 19/326 dan As Subki, Thabaqat Asy Syafi’iyah 6/193 dan 194).
Kehidupan dan Perjalanannya Menuntut Ilmu
Ayah beliau adalah seorang pengrajin kain shuf (yang dibuat dari kulit domba) dan menjualnya di kota Thusi. Menjelang wafat dia mewasiatkan pemeliharaan kedua anaknya kepada temannya dari kalangan orang yang baik. Dia berpesan, “Sungguh saya menyesal tidak belajar khat (tulis menulis Arab) dan saya ingin memperbaiki apa yang telah saya alami pada kedua anak saya ini. Maka saya mohon engkau mengajarinya, dan harta yang saya tinggalkan boleh dihabiskan untuk keduanya.”
Setelah meninggal, maka temannya tersebut mengajari keduanya ilmu, hingga habislah harta peninggalan yang sedikit tersebut. Kemudian dia meminta maaf tidak dapat melanjutkan wasiat orang tuanya dengan harta benda yang dimilikinya. Dia berkata, “Ketahuilah oleh kalian berdua, saya telah membelanjakan untuk kalian dari harta kalian. Saya seorang fakir dan miskin yang tidak memiliki harta. Saya menganjurkan kalian berdua untuk masuk ke madrasah seolah-olah sebagai penuntut ilmu. Sehingga memperoleh makanan yang dapat membantu kalian berdua.”
Lalu keduanya melaksanakan anjuran tersebut. Inilah yang menjadi sebab kebahagiaan dan ketinggian mereka. Demikianlah diceritakan oleh Al Ghazali, hingga beliau berkata, “Kami menuntut ilmu bukan karena Allah ta’ala , akan tetapi ilmu enggan kecuali hanya karena Allah ta’ala.” (Dinukil dari Thabaqat Asy Syafi’iyah 6/193-194).
Beliau pun bercerita, bahwa ayahnya seorang fakir yang shalih. Tidak memakan kecuali hasil pekerjaannya dari kerajinan membuat pakaian kulit. Beliau berkeliling mengujungi ahli fikih dan bermajelis dengan mereka, serta memberikan nafkah semampunya. Apabila mendengar perkataan mereka (ahli fikih), beliau menangis dan berdoa memohon diberi anak yang faqih. Apabila hadir di majelis ceramah nasihat, beliau menangis dan memohon kepada Allah ta’ala untuk diberikan anak yang ahli dalam ceramah nasihat.
Kiranya Allah mengabulkan kedua doa beliau tersebut. Imam Al Ghazali menjadi seorang yang faqih dan saudaranya (Ahmad) menjadi seorang yang ahli dalam memberi ceramah nasihat (Dinukil dari Thabaqat Asy Syafi’iyah 6/194).
Imam Al Ghazali memulai belajar di kala masih kecil. Mempelajari fikih dari Syaikh Ahmad bin Muhammad Ar Radzakani di kota Thusi. Kemudian berangkat ke Jurjan untuk mengambil ilmu dari Imam Abu Nashr Al Isma’ili dan menulis buku At Ta’liqat. Kemudian pulang ke Thusi (Lihat kisah selengkapnya dalam Thabaqat Asy Syafi’iyah 6/195).
Beliau mendatangi kota Naisabur dan berguru kepada Imam Haramain Al Juwaini dengan penuh kesungguhan. Sehingga berhasil menguasai dengan sangat baik fikih mazhab Syafi’i dan fikih khilaf, ilmu perdebatan, ushul, manthiq, hikmah dan filsafat. Beliau pun memahami perkataan para ahli ilmu tersebut dan membantah orang yang menyelisihinya. Menyusun tulisan yang membuat kagum guru beliau, yaitu Al Juwaini (Lihat Adz Dzahabi, Siyar A’lam Nubala’ 19/323 dan As Subki, Thabaqat Asy Syafi’iyah 6/191).
Setelah Imam Haramain meninggal, berangkatlah Imam Ghazali ke perkemahan Wazir Nidzamul Malik. Karena majelisnya tempat berkumpul para ahli ilmu, sehingga beliau menantang debat kepada para ulama dan mengalahkan mereka. Kemudian Nidzamul Malik mengangkatnya menjadi pengajar di madrasahnya di Baghdad dan memerintahkannya untuk pindah ke sana. Maka pada tahun 484 H beliau berangkat ke Baghdad dan mengajar di Madrasah An Nidzamiyah dalam usia tiga puluhan tahun. Disinilah beliau berkembang dan menjadi terkenal. Mencapai kedudukan yang sangat tinggi.
Pengaruh Filsafat Dalam Dirinya
Pengaruh filsafat dalam diri beliau begitu kentalnya. Beliau menyusun buku yang berisi celaan terhadap filsafat, seperti kitab At Tahafut yang membongkar kejelekan filsafat. Akan tetapi beliau menyetujui mereka dalam beberapa hal yang disangkanya benar. Hanya saja kehebatan beliau ini tidak didasari dengan ilmu atsar dan keahlian dalam hadits-hadits Nabi yang dapat menghancurkan filsafat. Beliau juga gemar meneliti kitab Ikhwanush Shafa dan kitab-kitab Ibnu Sina. Oleh karena itu, Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah berkata, “Al Ghazali dalam perkataannya sangat dipengaruhi filsafat dari karya-karya Ibnu Sina dalam kitab Asy Syifa’, Risalah Ikhwanish Shafa dan karya Abu Hayan At Tauhidi.” (Majmu’ Fatawa 6/54).
Hal ini jelas terlihat dalam kitabnya Ihya’ Ulumuddin. Sehingga Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah berkata, “Perkataannya di Ihya Ulumuddin pada umumnya baik. Akan tetapi di dalamnya terdapat isi yang merusak, berupa filsafat, ilmu kalam, cerita bohong sufiyah dan hadits-hadits palsu.” (Majmu’ Fatawa 6/54).
Demikianlah Imam Ghazali dengan kejeniusan dan kepakarannya dalam fikih, tasawuf dan ushul, tetapi sangat sedikit pengetahuannya tentang ilmu hadits dan sunah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam yang seharusnya menjadi pengarah dan penentu kebenaran. Akibatnya beliau menyukai filsafat dan masuk ke dalamnya dengan meneliti dan membedah karya-karya Ibnu Sina dan yang sejenisnya, walaupun beliau memiliki bantahan terhadapnya. Membuat beliau semakin jauh dari ajaran Islam yang hakiki.
Adz Dzahabi berkata, “Orang ini (Al Ghazali) menulis kitab dalam mencela filsafat, yaitu kitab At Tahafut. Dia membongkar kejelekan mereka, akan tetapi dalam beberapa hal menyetujuinya, dengan prasangka hal itu benar dan sesuai dengan agama. Beliau tidaklah memiliki ilmu tentang atsar dan beliau bukanlah pakar dalam hadits-hadits Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam yang dapat mengarahkan akal. Beliau senang membedah dan meneliti kitab Ikhwanush Shafa. Kitab ini merupakan penyakit berbahaya dan racun yang mematikan. Kalaulah Abu Hamid bukan seorang yang jenius dan orang yang mukhlis, niscaya dia telah binasa.” (Siyar A’lam Nubala 19/328).
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah berkata, “Abu Hamid condong kepada filsafat. Menampakkannya dalam bentuk tasawuf dan dengan ibarat Islami (ungkapan syar’i). Oleh karena itu para ulama muslimin membantahnya. Hingga murid terdekatnya, (yaitu) Abu Bakar Ibnul Arabi mengatakan, “Guru kami Abu Hamid masuk ke perut filsafat, kemudian ingin keluar dan tidak mampu.” (Majmu’ Fatawa 4/164).
Polemik Kejiwaan Imam Ghazali
Kedudukan dan ketinggian jabatan beliau ini tidak membuatnya congkak dan cinta dunia. Bahkan dalam jiwanya berkecamuk polemik (perang batin) yang membuatnya senang menekuni ilmu-ilmu kezuhudan. Sehingga menolak jabatan tinggi dan kembali kepada ibadah, ikhlas dan perbaikan jiwa. Pada bulan Dzul Qai’dah tahun 488 H beliau berhaji dan mengangkat saudaranya yang bernama Ahmad sebagai penggantinya.
Pada tahun 489 H beliau masuk kota Damaskus dan tinggal beberapa hari. Kemudian menziarahi Baitul Maqdis beberapa lama, dan kembali ke Damaskus beri’tikaf di menara barat masjid Jami’ Damaskus. Beliau banyak duduk di pojok tempat Syaikh Nashr bin Ibrahim Al Maqdisi di masjid Jami’ Umawi (yang sekarang dinamai Al Ghazaliyah). Tinggal di sana dan menulis kitab Ihya Ulumuddin, Al Arba’in, Al Qisthas dan kitab Mahakkun Nadzar. Melatih jiwa dan mengenakan pakaian para ahli ibadah. Beliau tinggal di Syam sekitar 10 tahun.
Ibnu Asakir berkata, “Abu Hamid rahimahullah berhaji dan tinggal di Syam sekitar 10 tahun. Beliau menulis dan bermujahadah dan tinggal di menara barat masjid Jami’ Al Umawi. Mendengarkan kitab Shahih Bukhari dari Abu Sahl Muhammad bin Ubaidilah Al Hafshi.” (Dinukil oleh Adz Dzahabi dalam Siyar A’lam Nubala 6/34).
Disampaikan juga oleh Ibnu Khallakan dengan perkataannya, “An Nidzam (Nidzam Mulk) mengutusnya untuk menjadi pengajar di madrasahnya di Baghdad tahun 484 H. Beliau tinggalkan jabatannya pada tahun 488 H. Lalu menjadi orang yang zuhud, berhaji dan tinggal menetap di Damaskus beberapa lama. Kemudian pindah ke Baitul Maqdis, lalu ke Mesir dan tinggal beberapa lama di Iskandariyah. Kemudian kembali ke Thusi.” (Dinukil oleh Adz Dzahabi dalam Siyar A’lam Nubala 6/34).
Ketika Wazir Fakhrul Mulk menjadi penguasa Khurasan, beliau dipanggil hadir dan diminta tinggal di Naisabur. Sampai akhirnya beliau datang ke Naisabur dan mengajar di madrasah An Nidzamiyah beberapa saat. Setelah beberapa tahun, pulang ke negerinya dengan menekuni ilmu dan menjaga waktunya untuk beribadah. Beliau mendirikan satu madrasah di samping rumahnya dan asrama untuk orang-orang shufi. Beliau habiskan sisa waktunya dengan mengkhatam Al Qur’an, berkumpul dengan ahli ibadah, mengajar para penuntut ilmu dan melakukan shalat dan puasa serta ibadah lainnya sampai meninggal dunia.
Masa Akhir Kehidupannya
Akhir kehidupan beliau dihabiskan dengan kembali mempelajari hadits dan berkumpul dengan ahlinya. Berkata Imam Adz Dzahabi, “Pada akhir kehidupannya, beliau tekun menuntut ilmu hadits dan berkumpul dengan ahlinya serta menelaah shahihain (Shahih Bukhari dan Muslim). Seandainya beliau berumur panjang, niscaya dapat menguasai semuanya dalam waktu singkat. Beliau belum sempat meriwayatkan hadits dan tidak memiliki keturunan kecuali beberapa orang putri.”
Abul Faraj Ibnul Jauzi menyampaikan kisah meninggalnya beliau dalam kitab Ats Tsabat Indal Mamat, menukil cerita Ahmad (saudaranya); Pada subuh hari Senin, saudaraku Abu Hamid berwudhu dan shalat, lalu berkata, “Bawa kemari kain kafan saya.” Lalu beliau mengambil dan menciumnya serta meletakkannya di kedua matanya, dan berkata, “Saya patuh dan taat untuk menemui Malaikat Maut.” Kemudian beliau meluruskan kakinya dan menghadap kiblat. Beliau meninggal sebelum langit menguning (menjelang pagi hari). (Dinukil oleh Adz Dzahabi dalam Siyar A’lam Nubala 6/34). Beliau wafat di kota Thusi, pada hari Senin tanggal 14 Jumada Akhir tahun 505 H dan dikuburkan di pekuburan Ath Thabaran (Thabaqat Asy Syafi’iyah 6/201).
Karya-Karyanya*
*Nama karya beliau ini diambil secara ringkas dari kitab Mauqif Ibnu Taimiyah Minal Asya’irah, karya Dr. Abdurrahman bin Shaleh Ali Mahmud 2/623-625, Thabaqat Asy Syafi’iyah 6/203-204
Beliau seorang yang produktif menulis. Karya ilmiah beliau sangat banyak sekali. Di antara karyanya yang terkenal ialah:
Pertama, dalam masalah ushuluddin dan aqidah:
1. Arba’in Fi Ushuliddin. Merupakan juz kedua dari kitab beliau Jawahirul Qur’an.
2. Qawa’idul Aqa’id, yang beliau satukan dengan Ihya’ Ulumuddin pada jilid pertama.
3. Al Iqtishad Fil I’tiqad.
4. Tahafut Al Falasifah. Berisi bantahan beliau terhadap pendapat dan pemikiran para filosof dengan menggunakan kaidah mazhab Asy’ariyah.
5. Faishal At Tafriqah Bainal Islam Wa Zanadiqah.
Kedua, dalam ilmu ushul, fikih, filsafat, manthiq dan tasawuf, beliau memiliki karya yang sangat banyak. Secara ringkas dapat kita kutip yang terkenal, di antaranya:
(1) Al Mustashfa Min Ilmil Ushul. Merupakan kitab yang sangat terkenal dalam ushul fiqih. Yang sangat populer dari buku ini ialah pengantar manthiq dan pembahasan ilmu kalamnya. Dalam kitab ini Imam Ghazali membenarkan perbuatan ahli kalam yang mencampur adukkan pembahasan ushul fikih dengan pembahasan ilmu kalam dalam pernyataannya, “Para ahli ushul dari kalangan ahli kalam banyak sekali memasukkan pembahasan kalam ke dalamnya (ushul fiqih) lantaran kalam telah menguasainya. Sehingga kecintaannya tersebut telah membuatnya mencampur adukkannya.” Tetapi kemudian beliau berkata, “Setelah kita mengetahui sikap keterlaluan mereka mencampuradukkan permasalahan ini, maka kita memandang perlu menghilangkan dari hal tersebut dalam kumpulan ini. Karena melepaskan dari sesuatu yang sudah menjadi kebiasaan sangatlah sukar……” (Dua perkataan beliau ini dinukil dari penulis Mauqif Ibnu Taimiyah Minal Asya’irah dari Al Mustashfa hal. 17 dan 18).
Lebih jauh pernyataan beliau dalam Mukaddimah manthiqnya, “Mukadimah ini bukan termasuk dari ilmu ushul. Dan juga bukan mukadimah khusus untuknya. Tetapi merupakan mukadimah semua ilmu. Maka siapa pun yang tidak memiliki hal ini, tidak dapat dipercaya pengetahuannya.” (Mauqif Ibnu Taimiyah Minal Asya’irah dari Al Mustashfa hal. 19).
Kemudian hal ini dibantah oleh Ibnu Shalah. beliau berkata, “Ini tertolak, karena setiap orang yang akalnya sehat, maka berarti dia itu manthiqi. Lihatlah berapa banyak para imam yang sama sekali tidak mengenal ilmu manthiq!” (Adz Dzahabi dalam Siyar A’lam Nubala 19/329). Demikianlah, karena para sahabat juga tidak mengenal ilmu manthiq. Padahal pengetahuan serta pemahamannya jauh lebih baik dari para ahli manthiq.
(2) Mahakun Nadzar.
(3) Mi’yarul Ilmi. Kedua kitab ini berbicara tentang mantiq dan telah dicetak.
(4) Ma’ariful Aqliyah. Kitab ini dicetak dengan tahqiq Abdulkarim Ali Utsman.
(5) Misykatul Anwar. Dicetak berulangkali dengan tahqiq Abul Ala Afifi.
(6) Al Maqshad Al Asna Fi Syarhi Asma Allah Al Husna. Telah dicetak.
(7) Mizanul Amal. Kitab ini telah diterbitkan dengan tahqiq Sulaiman Dunya.
(8) Al Madhmun Bihi Ala Ghairi Ahlihi. Oleh para ulama, kitab ini diperselisihkan keabsahan dan keontetikannya sebagai karya Al Ghazali. Yang menolak penisbatan ini, diantaranya ialah Imam Ibnu Shalah dengan pernyataannya, “Adapun kitab Al Madhmun Bihi Ala Ghairi Ahlihi, bukanlah karya beliau. Aku telah melihat transkipnya dengan khat Al Qadhi Kamaluddin Muhammad bin Abdillah Asy Syahruzuri yang menunjukkan, bahwa hal itu dipalsukan atas nama Al Ghazali. Beliau sendiri telah menolaknya dengan kitab Tahafut.” (Adz Dzahabi dalam Siyar A’lam Nubala 19/329).
Banyak pula ulama yang menetapkan keabsahannya. Di antaranya yaitu Syaikhul Islam, menyatakan, “Adapun mengenai kitab Al Madhmun Bihi Ala Ghairi Ahlihi, sebagian ulama mendustakan penetapan ini. Akan tetapi para pakar yang mengenalnya dan keadaannya, akan mengetahui bahwa semua ini merupakan perkataannya.” (Adz Dzahabi dalam Siyar A’lam Nubala 19/329). Kitab ini diterbitkan terakhir dengan tahqiq Riyadh Ali Abdillah.
(9) Al Ajwibah Al Ghazaliyah Fil Masail Ukhrawiyah.
(10) Ma’arijul Qudsi fi Madariji Ma’rifati An Nafsi.
(11) Qanun At Ta’wil.
(12) Fadhaih Al Bathiniyah dan Al Qisthas Al Mustaqim. Kedua kitab ini merupakan bantahan beliau terhadap sekte batiniyah. Keduanya telah terbit.
(13) Iljamul Awam An Ilmil Kalam. Kitab ini telah diterbitkan berulang kali dengan tahqiq Muhammad Al Mu’tashim Billah Al Baghdadi.
(14) Raudhatuth Thalibin Wa Umdatus Salikin, diterbitkan dengan tahqiq Muhammad Bahit.
(15) Ar Risalah Alladuniyah.
(16) Ihya’ Ulumuddin. Kitab yang cukup terkenal dan menjadi salah satu rujukan sebagian kaum muslimin di Indonesia. Para ulama terdahulu telah berkomentar banyak tentang kitab ini, di antaranya:
Abu Bakar Al Thurthusi berkata, “Abu Hamid telah memenuhi kitab Ihya’ dengan kedustaan terhadap Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Saya tidak tahu ada kitab di muka bumi ini yang lebih banyak kedustaan darinya, kemudian beliau campur dengan pemikiran-pemikiran filsafat dan kandungan isi Rasail Ikhwanush Shafa. Mereka adalah kaum yang memandang kenabian merupakan sesuatu yang dapat diusahakan.” (Dinukil Adz Dzahabi dalam Siyar A’lam Nubala 19/334).
Dalam risalahnya kepada Ibnu Mudzaffar, beliau pun menyatakan, “Adapun penjelasan Anda tentang Abu Hamid, maka saya telah melihatnya dan mengajaknya berbicara. Saya mendapatkan beliau seorang yang agung dari kalangan ulama. Memiliki kecerdasan akal dan pemahaman. Beliau telah menekuni ilmu sepanjang umurnya, bahkan hampir seluruh usianya. Dia dapat memahami jalannya para ulama dan masuk ke dalam kancah para pejabat tinggi. Kemudian beliau bertasawuf, menghijrahi ilmu dan ahlinya dan menekuni ilmu yang berkenaan dengan hati dan ahli ibadah serta was-was syaitan. Sehingga beliau rusak dengan pemikiran filsafat dan Al Hallaj (pemikiran wihdatul wujud). Mulai mencela ahli fikih dan ahli kalam. Sungguh dia hampir tergelincir keluar dari agama ini. Ketika menulis Al Ihya’ beliau mulai berbicara tentang ilmu ahwal dan rumus-rumus sufiyah, padahal belum mengenal betul dan tidak memiliki keahlian tentangnya. Sehingga dia berbuat kesalahan fatal dan memenuhi kitabnya dengan hadits-hadits palsu.” Imam Adz Dzahabi mengomentari perkataan ini dengan pernyataannya, “Adapun di dalam kitab Ihya’ terdapat sejumlah hadits-hadits yang batil dan terdapat kebaikan padanya, seandainya tidak ada adab dan tulisan serta zuhud secara jalannya ahli hikmah dan sufi yang menyimpang.” (Adz Dzahabi dalam Siyar A’lam Nubala 19/339-340).
Imam Subuki dalam Thabaqat Asy Syafi’iyah (Lihat 6/287-288) telah mengumpulkan hadits-hadits yang terdapat dalam kitab Al Ihya’ dan menemukan 943 hadits yang tidak diketahui sanadnya. Abul Fadhl Abdurrahim Al Iraqi mentakhrij hadits-hadits Al Ihya’ dalam kitabnya, Al Mughni An Asfari Fi Takhrij Ma Fi Al Ihya Minal Akhbar. Kitab ini dicetak bersama kitab Ihya Ulumuddin. Beliau sandarkan setiap hadits kepada sumber rujukannya dan menjelaskan derajat keabsahannya. Didapatkan banyak dari hadits-hadits tersebut yang beliau hukumi dengan lemah dan palsu atau tidak ada asalnya dari perkataan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Maka berhati-hatilah para penulis, khathib, pengajar dan para penceramah dalam mengambil hal-hal yang terdapat dalam kitab Ihya Ulumuddin.
(17) Al Munqidz Minad Dhalalah. Tulisan beliau yang banyak menjelaskan sisi biografinya.
(18) Al Wasith.
(19) Al Basith.
(20) Al Wajiz.
(21) Al Khulashah. Keempat kitab ini adalah kitab rujukan fiqih Syafi’iyah yang beliau tulis. Imam As Subki menyebutkan 57 karya beliau dalam Thabaqat Asy Syafi’iyah 6/224-227.
Aqidah dan Madzhab Beliau
Dalam masalah fikih, beliau seorang yang bermazhab Syafi’i. Nampak dari karyanya Al Wasith, Al Basith dan Al Wajiz. Bahkan kitab beliau Al Wajiz termasuk buku induk dalam mazhab Syafi’i. Mendapat perhatian khusus dari para ulama Syafi’iyah. Imam Adz Dzahabi menjelaskan mazhab fikih beliau dengan pernyataannya, “Syaikh Imam, Hujjatul Islam, A’jubatuz zaman, Zainuddin Abu Hamid Muhammad bin Muhammad bin Muhammad bin Ahmad Ath Thusi Asy Syafi’i.”
Sedangkan dalam sisi akidah, beliau sudah terkenal dan masyhur sebagai seorang yang bermazhab Asy’ariyah. Banyak membela Asy’ariyah dalam membantah Bathiniyah, para filosof serta kelompok yang menyelisihi mazhabnya. Bahkan termasuk salah satu pilar dalam mazhab tersebut. Oleh karena itu beliau menamakan kitab aqidahnya yang terkenal dengan judul Al Iqtishad Fil I’tiqad. Tetapi karya beliau dalam aqidah dan cara pengambilan dalilnya, hanyalah merupakan ringkasan dari karya tokoh ulama Asy’ariyah sebelum beliau (pendahulunya). Tidak memberikan sesuatu yang baru dalam mazhab Asy’ariyah. Beliau hanya memaparkan dalam bentuk baru dan cara yang cukup mudah. Keterkenalan Imam Ghazali sebagai tokoh Asy’ariyah juga dibarengi dengan kesufiannya. Beliau menjadi patokan marhalah yang sangat penting menyatunya Sufiyah ke dalam Asy’ariyah.
Akan tetapi tasawuf apakah yang diyakini beliau? Memang agak sulit menentukan tasawuf beliau. Karena seringnya beliau membantah sesuatu, kemudian beliau jadikan sebagai aqidahnya. Beliau mengingkari filsafat dalam kitab Tahafut, tetapi beliau sendiri menekuni filsafat dan menyetujuinya.
Ketika berbicara dengan Asy’ariyah tampaklah sebagai seorang Asy’ari tulen. Ketika berbicara tasawuf, dia menjadi sufi. Menunjukkan seringnya beliau berpindah-pindah dan tidak tetap dengan satu mazhab. Oleh karena itu Ibnu Rusyd mencelanya dengan mengatakan, “Beliau tidak berpegang teguh dengan satu mazhab saja dalam buku-bukunya. Akan tetapi beliau menjadi Asy’ari bersama Asy’ariyah, sufi bersama sufiyah dan filosof bersama filsafat.” (Lihat Mukadimah kitab Bughyatul Murtad hal. 110).
Adapun orang yang menelaah kitab dan karya beliau seperti Misykatul Anwar, Al Ma’arif Aqliyah, Mizanul Amal, Ma’arijul Quds, Raudhatuthalibin, Al Maqshad Al Asna, Jawahirul Qur’an dan Al Madmun Bihi Ala Ghairi Ahlihi, akan mengetahui bahwa tasawuf beliau berbeda dengan tasawuf orang sebelumnya. Syaikh Dr. Abdurrahman bin Shalih Ali Mahmud menjelaskan tasawuf Al Ghazali dengan menyatakan, bahwa kunci mengenal kepribadian Al Ghazali ada dua perkara:
Pertama, pendapat beliau, bahwa setiap orang memiliki tiga aqidah. Yang pertama, ditampakkan di hadapan orang awam dan yang difanatikinya. Kedua, beredar dalam ta’lim dan ceramah. Ketiga, sesuatu yang dii’tiqadi seseorang dalam dirinya. Tidak ada yang mengetahui kecuali teman yang setara pengetahuannya. Bila demikian, Al Ghazali menyembunyikan sisi khusus dan rahasia dalam aqidahnya.
Kedua, mengumpulkan pendapat dan uraian singkat beliau yang selalu mengisyaratkan kerahasian akidahnya. Kemudian membandingkannya dengan pendapat para filosof saat beliau belum cenderung kepada filsafat Isyraqi dan tasawuf, seperti Ibnu Sina dan yang lainnya. (Mauqif Ibnu Taimiyah Minal Asyariyah 2/628).
Beliau (Syeikh Dr. Abdurrahman bin Shalih Ali Mahmud) menyimpulkan hasil penelitian dan pendapat para peneliti pemikiran Al Ghazali, bahwa tasawuf Al Ghazali dilandasi filsafat Isyraqi (Madzhab Isyraqi dalam filsafat ialah mazhab yang menyatukan pemikiran dan ajaran dalam agama-agama kuno, Yunani dan Parsi. Termasuk bagian dari filsafat Yunani dan Neo-Platoisme. Lihat Al Mausu’ah Al Muyassarah Fi Al Adyan Wal Madzahibi Wal Ahzab Al Mu’ashirah, karya Dr. Mani’ bin Hamad Al Juhani 2/928-929). Sebenarnya inilah yang dikembangkan beliau akibat pengaruh karya-karya Ibnu Sina dan Ikhwanush Shafa. Demikian juga dijelaskan pentahqiq kitab Bughyatul Murtad dalam mukadimahnya. Setelah menyimpulkan bantahan Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah terhadap beliau dengan mengatakan, “Bantahan Ibnu Taimiyah terhadap Al Ghazali didasarkan kejelasannya mengikuti filsafat dan terpengaruh dengan sekte Bathiniyah dalam menta’wil nash-nash, walaupun beliau membantah habis-habisan mereka, seperti dalam kitab Al Mustadzhiri. Ketika tujuan kitab ini (Bughyatul Murtad, pen) adalah untuk membantah orang yang berusaha menyatukan agama dan filsafat, maka Syaikhul Islam menjelaskan bentuk usaha tersebut pada Al Ghazali. Yang berusaha menafsirkan nash-nash dengan tafsir filsafat Isyraqi yang didasarkan atas ta’wil batin terhadap nash, sesuai dengan pokok-pokok ajaran ahli Isyraq (pengikut filsafat neo-platonisme).” (Lihat Mukadimah kitab Bughyatul Murtad hal. 111).
Tetapi perlu diketahui, bahwa pada akhir hayatnya, beliau kembali kepada ajaran Ahlusunnah Wal Jama’ah meninggalkan filsafat dan ilmu kalam, dengan menekuni Shahih Bukhari dan Muslim. Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah berkata, “Penulis Jawahirul Qur’an (Al Ghazali, pen) karena banyak meneliti perkataan para filosof dan merujuk kepada mereka, sehingga banyak mencampur pendapatnya dengan perkataan mereka. Pun beliau menolak banyak hal yang bersesuaian dengan mereka. Beliau memastikan, bahwa perkataan filosof tidak memberikan ilmu dan keyakinan. Demikian juga halnya perkataan ahli kalam. Pada akhirnya beliau menyibukkan diri meneliti Shahih Bukhari dan Muslim hingga wafatnya dalam keadaan demikian. Wallahu a’lam.”














Biografi Singkat Imam al-Ghazali Hujjatul Islam dan Pembaharu abad ke-5

Biografi Imam Al Ghazali(450H-505H bersamaan 1058M-1111M)
Imam Al Ghazali r.a.h adalah tokoh ilmu sufi yang terkenal, lebih lebih lagi di kalangan mereka yang mempelajari kitab kitab karangan beliau seperti ihya ulumuddin,minhajul abidin,bidayah alhidayah dan lain lain lagi.
Nama sebenar imam Alghazali ialah Muhamad bin Muhammad bin Muhammad bin Ahmad Al ghazali Altusi.Beliau lebih dikenali dengan panggilan Alghazali iaitu nisbah kepada kampung tempat kelahirannya iaitu ghazalah yg terletak dipinggir bandar Tusi di dalam wilayah Kharasan, Parsi, (Iran). Dengan itu Alghazali bererti org ghazalah, kemungkinan juga panggilan tersebut dinisbahkan kepada bapanya seorang tukang tenun kain bulu yang dalam bahasa arabnya dikatakan alghazzal.
Imam Alghazali juga digelar Abu hamid, yang bererti bapa kepada Hamid iaitu dinisbahkan kepada anaknya. Beliau juga digelar hujjatul islam iaitu suatu gelaran penghormatan yang diberikan kepadanya kerana kejituan dan kekuatan hujjahnya di dalam membela agama islam.
Abu Hamid Muhammad Alghazali Altusi adalah seorang tokoh ulama' yang luas ilmu pengetahuannya dan merupakan seorang pemikir besar dalam sejarah falsafah islam dan dunia. Dalam ilmu feqah beliau bermazhab syafie sementara dalam ilmu kalam beliau mengikuti aliran assyaari atau ahlu sunnah wal jamaah. Beliau lahir pada tahun 450H bersamaan 1058M.
Bapanya adalah seorang miskin yang soleh, makan dari hasil usaha sendiri menenun pakaian daripada bulu kemudian menjualnya di pecan Tusi.Beliau sangat suka belajar ilmu agama dan mendampingi para ulama' sufi. Beliau meninggal dunia semasa Alghazali dan saudaranya yg bernama Ahmad masih kecil tetapi sempat menyerahkan sedikit wang saraan serta mewasiatkan tentang pengurusan pembelajaran kedua anaknya itu kepada sahabatnya yang miskin yang menjadi guru dan ahli tasawwuf.
Sahabatnya itu telah mendidik dan mengajar mereka berdua menulis sehinggalah wang peninggalan bapanya habis.kemudian sahabat itu telah menasihatkan Alghazali dua bersaudara agar pergi ke Tusi belajar di sebuah sekolah yang didirikan oleh perdana menteri Nizam Al malik,yang memberi saraan makan, pakain dan buku buku kepada pelajarnya. Beliau sendiri tidak mampu menyara mereka berdua.
Dengan itu, mereka berdua meninggalkan ghazlah menuju Tusi. Di sana Alghazali belajar membaca, menulis ,menghafal Al Quran, ilmu nahu, bahasa arab, ilmu matematik dan juga ilmu feqah daripada As Syeikh Ahmad bin Muhammad ArRazakani.Beliau amat suka mempelajari ilmu feqah dan perundangan islam sementara saudaranya Ahmad amat suka mempelajari ilmu tasawwuf dan akhirnya menjadi ahli sufi dan pendakwah yang masyhur digelar Abu AlFatuh.
Pada tahun 469H,Alghazali telah melanjtkan pelajarannya ke Jarjan berguru dengan Abu Nasr Al Ismaili.Di sana beliau telah berkahwin kemudian beliau pulang ke Tusi selama tiga tahun. Dalam masa ini beliau belajar tasawwuf daripada Yusuf Annasaj,seorang sufi terkenal.
Dalam perjalanan pulang ke tusi daripada Jarjan,Alghazali telah dirompak termasuk kertas catitan pelajarannya.Daripada peristiwa itulah beliau mulai menghafal pelajarannya tidak lagi bergantung kepada nota catitan lagi.
Pada tahun 471H, Alghazali berangkat menuju ke sekolah tinggi Nizmiyyah di Naisabur. Di sana beliau belajar daripada Abu Almaa'li, Diyaauddin Aljawaini yang terkenal dengan gelaran Imam haramain. Berbagai cabang ilmu pengetahuan telah dipelajari daripadanya samada ilmu agama seperti feqah dan ilmu kalam atau ilmu falsafah seperti mantik,jidal,hikmah dan lain lain sehingga beliau mengetahui berbagai mazhab, perbezaan pendapat masing masing dan beliau dapat menolak tiap tiap aliran yang dianggap salah. Bahkan beliau dapat mengimbangi keilmuan gurunya itu.Di sini beliau mula mengarang berbagai buku dan berbagai bidang, diantara buku karangannya yang dikagumi gurunya ialah yang dinamakan al mankhul.
Sewaktu berada di Naisabur, Alghazali juga mempelajari teori dan amalan tasawwuf daripada seorang alim fakih dan ketua ahli sufi disana yang bernama Alfaramdi.Al ghazali juga belajar tasawwuf daripada Abu Bakar Al warak dan Abu Bakar Altusi.
Selepas kematian gurunya, Alghazali telah berpindah ke Muaskar atau askar,suatu tempat di Iraq, atas jemputan Nizam Almalik. perdana menteri dari Sultan Turki yang berkuasa di bawah pemerintahan khalifah Abbasiyyah dari Baghdad. Di Muaskar, Alghazali diminta memberi pengajaran ssekali dalam dua minggu dihadapan pembesar dan para ahli ilmu disamping kedudukannya sebagai penasihat agung kepada perdana menteri. Dengan itu kedudukannya semakin penting dikalangan rasmi.Pengajian dua mingguan itu berlangsung selama lima tahun.
Selepas itu pada tahun 484H Alghazali telah dilantik menjadi Profesor kanan di universiti Nizmiyyah di Baghdad.Waktu itu beliau baharu berusia 34 tahun.Perlantikan ke jawatan itu belum pernah diberikan kepada sesiapa pun pada usia yang sebegitu muda,perlantikan itu adalah merupakan suatu penghormatan tertinggi di dalam dunia islam ketika itu.
Kemasyhuran beliau sebagai orang alim,guru serta pemidato yang petah berucap tersebar dengan cepat.Kuliahnya semakin menarik perhatian para pelajarnya,beratus ratus orang kenamaan dan terhormat turut menghadirinya.
Pada tahun 488H,khalifah al mustazhar billah yang baru ditabalkan menjadi khalifah ditahun 487H yang sedang menghadapi ancaman gerakan sesat golongan batiniah yang menimbulkan kekacauan,keganasan dan pembunuhan sulit terhadap sahabat akrab alghazali iaitu perdana menteri nizam almalik ditahun 483H,telah meminta alghazali menulis sebuah buku menerangkan keburukan keburukan golongan batiniah dan kebaikan kebaikan pemerintahan khalifah mustazhar.Alghazali telah menyahut permintaan tersebut dengan menulis bukunya yang dinamakan almustazhiri sempena gelaran khalifah.Buku berkenaan politik atau Negara ini juga dikenali sebagai "fadhaih al batiniah wa fadhail almustazhiri".Kemudian iikuti dengan buku yang lain antaranya hujatul haq,mufasil alkhilaf dan sebagainya.
Setelah berkhidmat selama 4 tahun di universiti Nizmiyyah,alghazali telah meletak jawatan pada bulan zulkaedah tahun 488H kerana beliau jatuh sakit selama enam bulan yang tidak dapat diubati oleh tabib ketika itu akibat dari pergolakan jiwa yang timbul dari keraguan terhadap pemikiran falsafah dan pertentangan perasaan diantara nafsu cintakan pangkat dan harta dan antara cetusan jiwa suci mahu mengabdikan diri kepada Allah semata mata dengan beruzlah dan beramal ibadah gauh dari gah masyhur,kesenangan dan kemewahan duniawi yang sementara.
Alghazali telah memutuskan tekad untuk meninggalkan kota Baghdad dan kemewahannya demi untuk menjadi seorang sufi.beliau telah mewakafkan semua kekayaan harta bendanya,hanya yang diambil sekadar yang mencukupi bagi menyelenggara keluarga dan bekallan perjalanan nanti.Kemudian beliau menuju ke syam (Syria) dengan niat hendak berkalwah dimasjid jami' dikota damsyik.Disana beliau tinggal kira kira 2 tahun dengan melakukan uzlah,khalwah,mujahadah,riadah dan beribadat menurut tasawwuf yg dipelajarinya.Semua itu dilakukan untuk menjernihkan hati agar mudah berzikir kepada Allah Taala.Sambil beliau beribadah sambil pula beliau memberikan kuliah tasawwuf di salah satu sudut masjid itu yg sehingga sekarang,ianya dikenali sebagai sudut alghazali.Pada tiap hari beliau naik ke puncak menara masjid damsyik yang tinggi itu dan mengunci pintunya dari dalam agar terhindar dari gangguan orang.disinilah beliau berkhalwah melatihkan batin,berjuang menentang nafsu,melawan kemalasan hati,membersihgkan diri,mendidik akhlak dan menyucikan hati dengan memperbayakkan zikir Allah.Semasa beliau berada disinilah beliau menulis karyanya yang besar berjumlah 4 jilid iaitu ihya ulumuddin.
Dari Damsyik, diakhir tahun 490H beliau berangkat ke baitul maqdis di Palestin untuk meneruskan ilmu kesufiannya dengan mengunjugi masjid al aqsa dam masuk ke dalam sahkrah setiap hari kemudian menguncinya dari dalam untuk berkhalwah dan berdoa memohon hidayah daripada Allah subhanahu Wa Taala.
Alghazali tidak lama tinggal di palestin kerana beliau terpaksa menyelamatkan diri dari keganasan tentera salib kristian yang berjaya merampas Palestin dari kaum muslimin. Beliau menuju ke kaherah Mesir dan kemudian ke Iskandariah. Beliau hanya berada sekejap saja di Mesir, kemungkinan disebabkan ulama' Universiti Al azhar ketika itu dibawah kekuasaan kerajaan Fatimiyyah dari golongan syiah tidak memberikan sambutan yang baik, dan kemungkinan juga kerana perbezaan fahaman antara ASWJ dengan syiah.
Di katakana Alghazali telah berazam bertolak dari Mesir menuju Maghribi untuk menemui Amir Yusuf bin Tasfin, seorang amir yang sukakan cendikiawan tetapi kemudiannya beliau menukarkan niatnya menuju ke tanah suci makkah dan madinah setelah mendapat tahu tentang kematian Yusuf bin Tasfin.
Kira kira 8 tahun berada di hijjaz beliau pun merasa rindu hendak pulang ke Baghdad untuk menziarahi keluarga, anak anak dan isterinya.Sungguhpun Al ghazali menjadi seorang zuhud, wara',namun kecintaan kepada ank anak dan isteri mempengaruhi beliau untuk pulang. Beliau cintakan Allah serta cintakan kepada keluarga dan anak isteri tetapi cintakan Allah mengatasi segala galanya. Oleh itu Alghazali mengimbangkan di antara dua kehidupan,dunia dan akhirat. Sambung…
Al Ghazali tidak lama tinggal di Baghdad kali ini kerana pada tahun 499H beliau berpindah ke Nisabur.Di sana beliau telah diangkat menjadi ketua Prof. kanan di universiti Nizmiyyah cawangan Nisabur oleh perdana menteri Fakhrul Al malik, anak perdana menteri Nizam Almalik. Alghazali kemudiannya kembali ke Tusi tempat kelahirannya pada tahun 500H setelah Fakhrul Almalik menerima nasib yang sama dengan ayahandanya, mati dibunuh oleh puak batiniyyah.Di Tusi, Alghazali telah mendirikan sebuah madrasah dan mengajar para pelajarnya tentang hukum, akidah dan tasawwuf.
Ahmad, anak sulung Nizam Almalik yg dilantik menjadi perdana menteri menggantikan saudaranya yang mati dibunuh telah meminta Alghazali bertugas semula di universiti Nizmiyyah. Alghazali yang kini mengajar kerana Allah dan bukan kerana mengejar pangkat, kemuliaan dan perdampingan diri dengan khalifah sebagaimana masa lampau telah menolak permintaan itu.lebih lebih lagi, pada masa itu beliau tidak suka lagi melibatkan diri dalam majlis majlis perdebatan dan pelajarnya seramai 150 orang di Tusi sukar untuk pergi ke Baghdad berpindah bersamanya.
Alghazali menghabiskan hari hari akhir kehidupannya dengan mengarang, mengajar dan juga belajar. Sebelum itu beliau tidak dapat menumpukan peerhatiannya kepada pembelajaran ilmu hadith.Oleh itu beliau telah mempelajari sahih bukhari dan muslim di bawah seorang muhaddith terkenal iaitu hafiz A'mr (ain.mim,ra) bin Abu Hassan al Rawasi, malah beliau telah mendapat ijazah dari mempelajari kedua dua kitab tersebut.
Sebelum meninggal dunia, Alghazali telah mengarang ratusan buku dalam berbagai bidang seperti falsafah, mantik, agama,akhlak, tasawwuf, kenegaraan dan teori pemerintahan tetapi hasil karyanya yang tinggal sekarang tidak sampai pun seratus buah. Di antara karyanya yang telah di terjemah ke dalam bahasa melayu atau Indonesia ialah ihya ulumuddin, bidayah alhidayah, minhajul abidin, mizan al a'mal, ayyuhal walad, kimia assaadah dan lain lainnya.Di antara buku yang terakhir ditulis oleh beliau ialah minhajul abidin dan yang paling terakhir ialah buku berkaitan ilmu kalam.
Alghazali meninggal dunia yang fana' di Tusi pada hari Isnin,14 Jamadil Akhir tahun 505H bersamaan 19 Disember 1111m dan disemadikan diperkuburan Tabiran.
Versi lain
Ketika disebut "Al-Ghazali" - di setiap negeri kaum Muslimin dan keseluruhannya - timbul dalam fikiran dua gelaran yang dikaitkan dengan nama ini, yaitu Hujjatul Islam dan Pembaharu abad ke-5.
Di bawah dua gelaran ini, hilanglah gelaran-gelaran lain yang banyak, ia mungkin menempuh jalannya untuk mencapai kedudukannya dalam dunia manusia, dan untuk menjelaskan kedudukan tokoh yang besar ini.
Al-Ghazali mempunyai personaliti yang istimewa, ia menduduki tempatnya yang jelas di kalangan tokoh-tokoh yang mempunyai kedudukan terkemuka dalam bidang pemikiran Islam, dan jika kita katakan bahawa keadaannya juga demikian dalam bidang pemikiran antara-bangsa, maka kita tidak melewati hakikat. Oleh itu, maka dialah Imam faqih, Imam usul, Imam dalam 'ilmu akhlaq, Imam dalam 'ilmu tarbiyyah dan 'ilmu jiwa, Imam dalam 'ilmu ekonomi, Imam salaf, Imam sufi dan Imam pembaharu, kesimpulan dari kesemuanya ini dia ialah Imam yang ber'amal dan Imam yang 'abid.
Penuntut 'ilmu dapat mempelajari AL-Ghazali dalam berbagai aspek yang telah disebutkan, kemudian mengeluarkan terjemahan sempurna bagi salah seorang tokoh dalam bidang tersebut, yang mempunyai kedudukan terkemuka padanya.
Sesungguhnya ia adalah keistimewaan yang sebahagiannya didapati pada seseorang, akan tetapi jarang terkumpul dalam diri seseorng manusia, dengan demikian tidak mudah bagi seorang pengkaji memenuhi hak keperibadian ini.
Dengan sebab ini, banyaklah tersebut tulisan-tulisan, terjemahan dan kajian tentang al-Ghazali. Di dalam himpunan maklumat-maklumat yang banyak tentang Imam ini, dan melalui produksi-produksi besar yang diletakkan dihadapan kita, maka tidak mudah bagi seseorang penulis mengenainya itu menghimpunkan keseluruhan yang sepatutnya diperolehi dalam perkataannya.































Hakikat Makrifat al-Ghazali & Dampak Psikologis bagi Kehidupan
Makrifat, sebagai pengetahuan yang hakiki dan meyakinkan, menurut al-Gazali, tidak didapat lewat pengalaman inderawi, juga tidak dicapai lewat penalaran rasional, tetapi lewat kemurnian qalbu yang mendapat ilham atau limpahan nur dari Tuhan sebagai pengalaman sufistik. Di sini, tersingkap segala realitas yang tidak dapat ditangkap oleh indera dan tidak terjangkau oleh akal (rasio).
Teori pengetahuan kasyfiy atau ‘irfaniy yang tidak menekankan peran indera dan rasio dipandang telah ikut melemahkan semangat seseorang untuk bergelimang dalam ilmu pengetahuan dan filsafat. Orang lari dari dunia nyata yang obyektif ke dunia gaib yang tidak dapat ditangkap oleh indera dan nalar. Orang lebih mementingkan kebahagiaan diri sendiri daripada kebahagiaan dan keselamatan umat manusia. Karenanya, orang lebih tertarik pada sikap hidup isolatif daripada sikap hidup partisipatif. Sikap hidup seperti ini berakibat pada banyaknya persoalan kemanusiaan tidak terurus yang sebenarnya menjadi tugas manusia.
Sebagai suatu komunitas, kaum sufi memiliki tradisi intelektual yang berbeda dari komunitas lain, sebagaimana yang tergambar dalam ajaran tasawuf al-Gazali. Tulisan ini akan melakukan pengkajian terhadap nalar ajaran tasawuf al-Gazali dalam konsep makrifat yang difokuskan pada masalah hakikat makrifat itu dan dampak psikologisnya terhadap aktivitas keseharian manusia. Makrifat, menurut al-Gazali, ialah pengetahuan yang meyakinkan, yang hakiki, yang dibangun di atas dasar keyakinan yang sempurna (haqq al-yaqin). Ia tidak didapat lewat pengalaman inderawi, juga tidak lewat penalaran rasional, tetapi semata lewat kemurnian qalbu yang mendapat ilham atau limpahan nur dari Tuhan sebagai pengalaman kasyfiy atau ‘irfaniy. Teori pengetahuan ala sufi ini dipandang telah ikut melemahkan semangat seseorang untuk aktif dalam kehidupan nyata secara seimbang antara tuntutan pribadi dan sosial, antara jasmani dan ruhani.
A. Pendahuluan
Dalam rentang sejarah kehidupan dan perjuangan al-Gazali (450-505 H./1058-1111 M.) yang panjang dan melelahkan untuk mencari pengetahuan yang benar (al-makrifat) yang mampu meyakinkan dan memuaskan batinnya, akhirnya, ia temukan pengetahuan yang benar setelah ia mendalami dan mengamalkan ajaran kaum sufi. Sebelum al-Gazali sampai pada kesimpulan bahwa tasawuflah yang dapat membawa kepada pengetahuan yang hakiki, yang membawanya menjadi seorang sufi, ia telah meneliti dengan seksama pengetahuan yang ia miliki dan segala macam pendapat, paham atau ajaran yang berkembang di zamannya, serta mengevaluasi diri, yakni amal atau profesi yang selama ini ia kerjakan dan tekuni. Apa yang dikerjakan oleh al-Gazali ini menggambarkan proses perkembangan intelektual, emosional dan spiritual dalam sejarah kehidupannya untuk menemukan pengetahuan yang benar dan meyakinkan.
Di dalam bukunya, al-Munqiz, dan juga di dalam buku-bukunya yang lain, ia berulangkali memperingatkan para “pelajar” yang masih baru bahwa perjalanan menuju penemuan kebenaran itu ternyata lambat sekali, bahkan menjemukan dan berbahaya. Walaupun perjalanan seperti itu dapat menghantarkan si pencari mencapai suatu ketinggian tertentu untuk kepuasan diri dan juga dengan cepat menghantarkan mengenal Allah SWT., akan tetapi di dalam perjalanan tersebut terdapat banyak sekali titik-titik balik, selama proses pencariannya, yang dapat menyesatkan. Sekalipun demikian, menjadi pencari kebenaran yang tekun sesungguhnya lebih baik daripada peniru dan melalaikan usaha pencarian itu.
Menurut Ab al-Wafa’ al-Ganimiy al-Taftazaniy, selama periode kehidupannya di kota Baghdad, al-Gazali menimba dan mendalami banyak cabang ilmu, juga filsafat. Ia mempelajari ilmu-ilmu tersebut, barangkali, untuk menghilangkan keraguannya yang muncul sejak ia mengajar. Tetapi, ternyata, ilmu-ilmu itu tidak memberikannya ketenangan jiwa. Kegelisahan jiwanya malah semakin menggelora sampai membuatnya tertimpa krisis psikis yang kronis. Akibat keadaan krisis ini, al-Gazali lalu meninggalkan kedudukannya sebagai Guru Besar Universitas Ni§amiyah; dan kemudian hidup menjadi seorang sufi.
Begitulah timbulnya kecenderungan ke arah tasawuf pada diri al-Gazali. Periode awal kehidupannya merupakan persiapan psikis baginya untuk menempuh jalan tasawuf. Dengan begitu, arah menuju Allah adalah obat yang menyembuhkan krisis spiritualnya. Ia menjalani suatu kehidupan baru, yaitu kehidupan asketis, ibadah, kontemplasi dan meditasi untuk penyempurnaan rhaniyah dan moral yang merupakan bagian integral dalam kehidupannya sebagai seorang sufi. Disinilah, katanya, ia menemukan pengetahuan yang hakiki atau kebenaran sejati (al-makrifat). Apakah hakikat makrifat atau kebenaran sejati itu?
Menarik untuk dipertanyakan, apakah hakikat makrifat itu? tetapi yang tidak kurang pula menariknya untuk dipertanyakan adalah apakah hakikat makrifat yang dikemukakan oleh al-Gazali itu tidak memberi efek negatif terhadap pengembangan daya kreativitas dan etos kerja umat Islam? Pertanyaan ini wajar muncul karena ada dugaan atau pendapat sebagian pengamat sosial masyarakat Islam yang mengatakan bahwa gara-gara ajaran al-Gazali inilah umat Islam menjadi tertinggal di bidang ilmu dan filsafat dibandingkan dengan umat lain. Dalam hal ini, karena al-Gazali dipandang sebagai salah seorang tokoh (ulama) yang sangat berpengaruh di dunia Islam, khususnya di belahan Timur. Begitu berpengaruhnya, hingga orientalis H.A.R Gibb mensejajarkan al-Gazali dengan Agustinus dan Luthor yang sangat berpengaruh dalam agama Kristen dalam pandangan keagamaan dan kemampuan intelektual.
Pertanyaan-pertanyaan di atas akan ditelaah secara kritis dalam tulisan ini dengan tidak bermaksud mengurangi penghargaan terhadap jasa besar al-Gazali yang diakui oleh banyak pengamat dalam menghidupkan kembali ilmu tasawuf yang sempat mengalami nasib buruk karena dipandang tersesat oleh ulama (teolog dan fuqaha).
B. Arti dan Hakikat Makrifat
Makrifat, menurut al-Gazali berarti ilmu yang tidak menerima keraguan (العلم الذى لا يقبل الشك) yaitu ”pengetahuan” yang mantap dan mapan, yang tak tergoyahkan oleh siapapun dan apapun, karena ia adalah pengetahuan yang telah mencapai tingkat haqq al-yaqin. Inilah ilmu yang meyakinkan, yang diungkapkan oleh al-Gazali dengan rumusan sebagai berikut:

ان علم اليقين هو الذي هو الذى ينكشف فيه المعلوم انكشافا لا يبقى معه ريب ولا يقالانه امكان الغلط والوهم ولا يتسع القلب لتقدير ذلك 
“Sesungguhnya ilmu yang meyakinkan itu ialah ilmu di mana yang menjadi obyek pengetahuan itu terbuka dengan jelas sehingga tidak ada sedikit pun keraguan terhadapnya; dan juga tidak mungkin salah satu keliru, serta tidak ada ruang di qalbu untuk itu”.
Secara definitif, makrifat menurut al-Gazali ialah:

الإطلاع على أسرار الربوبية والعلم بترتب الأمور الإلهية المحيطة بكل الموجودات.
“Terbukanya rahasia-rahasia Ketuhanan dan tersingkapnya hukum-hukum Tuhan yang meliputi segala yang ada”.
Dari definisi di atas, dapat dikatakan bahwa obyek makrifat dalam ajaran tasawuf al-Gazali tidak hanya terbatas pada pengenalan tentang Tuhan, tetapi juga mencakup pengenalan tentang segala hukum-hukum-Nya yang terdapat pada semua makhluk. Lebih jauh, dapat pula diartikan bahwa orang yang telah mencapai tingkat makrifat (al-‘arif) mampu mengenal hukum-hukum Allah atau sunnah-Nya yang hanya tampak pada orang-orang tertentu--para ’arifin--. Karena itu, adanya peristiwa-peristiwa “luar biasa”, seperti karamah, kasyf dan lain-lain yang dialami oleh orang-orang sufi, sebenarnya, tidaklah keluar dari sunnah Allah dalam arti yang luas, karena mereka mampu menjangkau sunnah-Nya yang tak dapat dilihat atau dijangkau oleh orang-orang biasa. Karena itu, dapat dikatakan, bahwa obyek makrifat dalam pandangan al-Gazali mencakup pengenalan terhadap hakikat dari segala realitas yang ada. Meskipun demikian, pada kenyataannya, al-Gazali lebih banyak membahas atau mengajarkan tentang cara seseorang memperoleh pengetahuan tentang Tuhan, yang memang tujuan utama dari setiap ajaran sufi. Dengan demikian, al-Gazali mendefinisikan makrifat dengan. (النظر الى وجه الله تعالى) (memandang kepada wajah Allah ta’ala).
Perlu disadari, betapapun tingginya pengenalan (al-makrifat) seseorang terhadap Allah, ia tidak akan mungkin dapat mengenal-Nya dengan sempurna, sebab manusia itu bersifat terbatas (finite), sedangkan Allah bersifat tak terbatas (infinite). Ibnu Taimiyah (w. 728 H./1328 M.), seorang pemikir muslim yang mengatakakn pernah mengalami kasyf, menegaskan bahwa mencapai pengertian sempurna tentang kebenaran mutlak (al-haqq) atau Tuhan adalah mustahil. Namun perlu diingat bahwa:
Ibnu Taimiyah ingin membawa pengalaman memperoleh kasyf itu kepada tingkat proses intelektual yang sehat, dan dengan tegas ia menolak finalitas kasyf sebagai bentuk penemuan kebenaran atau Tuhan. menurut Ibnu Taimiyah, keabsahan kasyf adalah sebanding dengan kesucian moral pada jiwa, yang tingkatan-tingkatan kesucian itu, sebenarnya, tidak ada batasnya. Maka Kasyf pun ada dalam tingkat-tingkat yang berkelanjutan tanpa batas.
Makrifat dalam arti yang sesungguhnya, menurut al-Gazali, tidak dapat dicapai lewat indera atau akal, melainkan lewat nur yang diilhamkan Allah ke dalam qalbu. Melalui pengalaman sufistik seperti inilah, didapat pengetahuan dalam bentuk kasyf. Dengan kata lain, makrifat bukanlah pengetahuan yang dihasilkan lewat membaca, meneliti, atau merenung, tetapi ia adalah apa yang disampaikan Tuhan kepada seseorang (sufi) dalam pengalaman sufistik langsung. Teori seperti ini, tampaknya, merupakan konsensus yang sudah umum dikenal dalam ajaran mistisisme atau tasawuf Islam. Fazlur Rahman, dalam hal ini mengatakan:
Mistisisme (tasawuf) Islam menghasilkan teori pengetahuan sendiri, yang menyatakan bahwa apa yang dipelajari dari buku-buku sama sekali bukanlah pengetahuan; pengetahuan adalah apa yang disampaikan Tuhan kepada seorang sufi dalam pengalaman sufistik langsung. Kaum sufi menolak ilmu pengetahuan dalam bentuk pemikiran intelektual dan menganggapnya pasti membahayakan (menyesatkan). Pengalaman sufi ini bercirikan kelangsungan dan kepastian yang menjadikannya kebal terhadap kepalsuan dan aman dari keraguan.
Makrifat sebagai ilmu mukasyafah, kata al-Gazali, tidak bisa dikomunikasikan kepada orang yang belum pernah mengalaminya, atau belum mencapai tingkat kualifikasi yang mampu mengerti pengalaman sufistik semacam itu. Setiap pengalaman pribadi antara seorang sufi dengan Tuhannya, jika diungkapkan dengan kata-kata, sudah dapat dipastikan salah paham dari pendengar yang tak mampu melepaskan ikatan duniawi. Paling-paling seorang sufi hanya mencoba mengungkapkannya secara simbolik dan metaforik, karena tidak ada bahasa yang dapat menuturkan secara tepat, tidak ada ungkapan yang tidak mengandung penafsiran ganda.
Menurut Ibnu Khaldun, sebagian besar pembicaraan mereka (kaum sufi) tentang kasyf atau pengungkapan akan hakikat ketuhanan dan rahasia penciptaan alam adalah termasuk pernyataan yang bersifat ganda (al-mutasyabih), sebab ia didasarkan pada pengalaman sufistik. Mereka yang tidak memiliki pengalaman sufistik, sebagaimana yang dialami oleh kaum sufi, tidak akan dapat merasakan seperti yang mereka rasakan. Tak ada bahasa yang mampu mengungkapkan segala yang hendak dikemukakan sufi sehubungan dengan masalah ini. Bahasa diciptakan hanya untuk mengungkapkan konsep-konsep yang secara umum diterima, yang kebanyakan berupa pengalaman inderawi. Karena itu, tegas Ibnu Khaldun, kita tidak perlu bersusah payah mendiskusikan masalah ini dengan orang-orang sufi; kita biarkan saja segala persoalannya yang mengandung arti ganda itu. Ini berarti bahwa Ibnu Khaldun mengakui adanya kasyf, meskipun sifatnya sangat individualistik. Orang sufi memiliki dunia sendiri yang harus dipahami menurut pemahaman mereka sendiri.
Selanjutnya, demikian Ibnu Khaldun, seorang yang tulen tidaklah menganggap tinggi kasyf ini. Bukan itu saja, bahkan pengetahuan-pengetahuan yang demikian dipandang sebagai cobaan; dan karenanya seyogyanya para pengamal ajaran tasawuf bermohon kepada Allah untuk dilepaskan dari semua itu. Para sahabat telah melakukan mujahadah dan meraka pun mendapat karamah yang melimpah ruah, namun mereka menganggap tinggi kasyf tersebut.
Ibnu Khaldun dapat disebut sebagai salah satu tokoh yang mengusulkan agar intisari yang menjadi tujuan utama ajaran tasawuf, yaitu mencapai makrifat melalui pengalaman kasyfi, diubah. Tujuan tasawuf dibatasi hanyalah untuk tekun beribadah dan mengamalkan laku zuhud serta menjauhi kemewahan hidup duniawi, seperti halnya kehidupan para sahabat Nabi. Kalau terjadi pengalaman kasyfiy di tengah ketekunan beribadah, itu adalah godaan, tidak perlu digubris, karena agama tidak memerintahkan dan menyuruh mencari-cari pengalaman kasyfiy itu. Karena itu, kelirulah para pengamal ajaran tasawuf yang mencari-cari pengalaman kasyfiy itu, sehingga membuat macam-macam awrad yang tidak berdasar sunnah.
Kritik dan usul Ibnu Khaldun untuk tidak mementingkan penghayatan kasyfiy ini memang menarik, namun kurang realistik. Karena, apabila penghayatan makrifat dalam bentuk kasyf yang menjadi intisari tasawuf ditinggalkan atau tidak menjadi tujuan utama, tasawuf pasti akan gulung tikar, tidak menjadi tasawuf lagi. Para pengamal ajaran tasawuf yang dahulu disebut sufi hanya dapat disebut ‘abid atau zahid. Karena kurang realistik, maka ide Ibnu Khaldun ini tidak digubris atau tidak diperhatikan oleh para sufi sendiri.
Kalau Ibnu Khaldun ingin membatasi tujuan tasawuf pada memperbanyak ibadah dan hidup sederhana tanpa menekankan pada upaya pencapaian penghayatan kasyfi, maka Ibnu Taimiyah dan Ibnu Qayyim tetap mengakui penghayatan kasyfiy sebagai intisari dan tujuan utama tasawuf. Fazlur Rahman menyebut dua tokoh terakhir ini sebagai pembawa paham sufisme-baru atau neo-sufisme. Sufisme-baru ini, kata Rahman, mempunyai ciri utama berupa tekanan kepada motif moral dan penerapan metode zikir dan muraqabah atau konsentrasi keruhanian guna mendekati Tuhan, tetapi sasaran dan isi konsentrasi itu disejajarkan dengan doktrin salafi (ortodoks) dan bertujuan untuk meneguhkan keimanan kepada aqidah yang benar dan kemurnian moral. Gejala yang dapat disebut sebagai neo-sufisme ini cenderung untuk menghidupkan kembali aktivisme salafi dan menanamkan kembali sikap positif kepada dunia. Demikian, kritik mereka terhadap sufisme-lama. Kemudian, mereka mengusulkan perubahan orientasi yang menjadi tujuan utama dari ajaran dan pengamalan tasawuf. Jika didalami sungguh-sungguh ajaran tasawuf, upaya ini tidak akan mudah dikembangkan. Keyakinan kaum sufi tidak akan bisa ditawar, bahkan penghayatan kasyfiy adalah ilmu yang mendatangkan haqq al-yaqin. Ilmu yang mereka yakini sebagai pemberian Tuhan (laduniyah) diyakini lebih tinggi dan lebih benar dari ilmu yang didapat lewat proses belajar (ta’limiyyah). Karena itu, orang sufi yang tulen tidak akan tergoyahkan dan tidak akan tertarik dengan ide-ide baru yang memang tidak sejalan dengan dasar pikiran sufisme.
Meskipun orang-orang sufi berkeyakinan bahwa pengetahuan yang didapat lewat pengalaman kasfy adalah pengetahuan yang tinggi dan meyakinkan, tetapi ia tidak dapat dijadikan sebagai hujjah hukum. Hal ini, tampaknya telah disepakati oleh orang sufi. Ada konsensus di kalangan para sufi bahwa satu-satunya cara untuk mengetahui, apakah sesuatu diperbolehkan atau dilarang, atau suatu perbuatan itu benar atau salah, hanyalah melalui Alquran, sunnah dan ijtihad para mujtahidin serta kesepakatan (ijma’) para ulama. Ini juga merupakan cara untuk mengetahui derajat kewajiban, apakah sesuatu bersifat wajib (far«u) atau terlarang (haram), dianjurkan (mandb), kurang disukai (makrh), atau dibolehkan (mubah). Dalam hal, ini kasyf seorang sufi tidak berperan, baik dalam menentukan legalitas segala sesuatu, atau menentukan tingkat kewajibannya. Tak ada seorang sufi terkemuka akan memperkenankan kasyf seorang untuk berbicara pada bidang yang sudah jelas diatur oleh syariat, untuk menyatakan apakah sesuatu sah atau tidak, khususnya terhadap hal-hal yang bertentangan dengan pendapat para imam mazhab yang sudah membahas masalah tersebut. Sejauh berkenaan dengan syariat, seorang sufi tidak memiliki wewenang mempergunakan kasyf-nya. Memang, kasyf bagi seorang wali adalah argumen, tapi bukan bagi orang lain. Ini tentu berbeda dari ijtihad yang dilakukan seorang mujtahid, yang hal tersebut merupakan argumen baginya dan bagi orang lain.
Al-Gazali sangat menentang orang yang tidak peduli terhadap hukum-hukum syariah karena menganggap telah mencapai tingkat tertinggi (wali) dan telah memperoleh pengetahuan langsung dari sumbernya, yaitu Allah SWT. berupa pengetahuan kasyfi, yang membawanya tidak terikat lagi pada hukum-hukum taklifiy. Kenyataan ini, menurut ‘Abd. al-¦alim Mahmd, adalah tindakan bid’ah yang sangat menyesatkan, yang lahir dari orang-orang yang sama sekali tidak mengerti agama (Islam), terutama tentang hakikat tasawuf. Jika ada orang berkata, demikian Ibnu Taimiyah, bahwa ia telah menerima pengetahuan berdasarkan kasyf, tetapi bertentangan dengan sunnah Rasul, maka kita wajib menolaknya. Menurut Ab al-A’la al-Mauddiy, antara syariah dan tasawuf terdapat hubungan yang tidak bisa dipisahkan. Jika syariah (fiqh) mengatur aspek lahir, maka tasawuf berhubungan dengan aspek batin untuk kesempurnaan ibadah kepada Allah SWT.
C. Makrifat: Efek Psikologis Tasawuf al-Gazali
Secara umum, mungkin salah satu konsekuensi dari paham kasyf ini berakibat pada sebagian besar karya al-Gazali tidak berisi etos sosial, sehingga individu menjadi pusat perhatian yang berlebihan; dan karena itu, banyak di antara pengikutnya yang lari dari pergumulan dunia konkret, menyisih dari arena pergulatan sosial dan menjadi sekedar penonton yang pasif dari dinamika proses sosial dan budaya masyarakatnya.
Menurut Yusuf Musa, meskipun al-Gazali, tampaknya, tidak membenarkan orang bersikap pasif dalam menghadapi kehidupan dunia, tetapi pada dasarnya ia lebih cenderung mengajarkan agar orang tidak usah terlibat dalam urusan dunia. Karena, duduk di dalam rumah untuk berzikir, kontemplasi dan ibadah, jauh lebih baik dari keluar rumah untuk berbelanja atau berusaha mencari kehidupan, sebab urusan dunia ini jelas akan mengacaukan perjalanannya kembali kepada Tuhan. Karena itu, Yusuf Musa dengan tegas mengatakan bahwa konsep etika al-Gazali (yang berlandaskan pengalaman kasyf) tidak mendorong terhadap terciptanya perbaikan sosial, tetapi hanya terarah kepada terciptanya kebahagiaan individual, sebagaimana tergambar dalam ajarannya tentang zuhud, fakir dan tawakal. Dengan demikian, katanya, etika al-Gazali tidak mendorong terciptanya kesejahteraan umum, tapi hanya untuk kebaikan dan kebahagiaan pribadi orang-orang tertentu, yakni orang sufi.
Boleh jadi, karena ajaran-ajaran tersebut, al-Gazali harus menerima pukulan dari beberapa ulama yang hidup belakangan. Salah satu pukulan yang paling berpengaruh ialah yang diberikan oleh Ibnu Taimiyah, seorang ulama yang banyak mengilhami gerakan pembaharuan yang dilakukan oleh Muhammad bin ‘Abd al-Wahhab di jazirah Arabia dan kelak juga Muhamad ‘Abduh di Mesir. Pukulannya terutama ditujukan kepada pandangan hidup al-Gazali yang amat mementingkan kehidupan asketik begitu rupa sehingga menjadikan seseorang mengasingkan diri dari kehidupan dunia.
Perbedaan tasawuf al-Gazali dengan Ibnu Taimiyah dapat dilihat dampaknya dalam pandangan dan cara hidup masing-masing. Dalam hal ini, Hamka mengatakan: “Amatlah berbeda pandangan hidup Ibnu Taimiyah dengan pandangan hidup al-Gazali, meskipun kedua-duanya bertasawuf. Tasawuf al-Gazali seakan-akan menolak hidup, takut menempuh hidup, lalu menyisihkan diri sehingga kadang-kadang tidak memperdulikan hal kiri dan kanan”.
Sebagaimana ditulis oleh Zaki Mubarak, demikian Hamka memberikan contoh perbedaan pandangan dan sikap hidup al-Gazali dengan Ibnu Taimiyah, bahwa ia kala al-Gazali hidup, dunia Islam sedang ditimpa malapetaka serangan kaum salib. Beberapa negeri telah dibakar musnah dan penduduk telah beribu-ribu yang dibunuh, namun al-Gazali “tenggelam” dalam khalwatnya. Tetapi, Ibnu Taimiyah, kalau datang seruan berjihad pada “jalan” Allah, tampil ke medan perang, dialah yang terlebih dahulu mengambil tombak dan pedangnya, serta mengajak dan menghasung orang supaya bersama-sama mengorbankan jiwa dan raga mempertahankan agama. Pernyataan serupa juga dikemukakan oleh Rasyad Salim sebagai berikut:
Satu yang perlu dicatat tentang integritas kepribadian al-Gazali, yaitu sikap acuh tak acuh terhadap peristiwa politik yang terjadi semasa hidupnya … Tindakan Ibnu Taimiyah ketika menghadapi perbagai peristiwa pada masanya, sangat berbeda dengan al-Gazali. Ibnu Taimiyah tergugah bangkit melawan bangsa Tartar, melalui pena, lisan ataupun pedangnya.
Sebagaimana disebut di atas, Ibnu Taimiyah dikatakan oleh Fazlur Rahman sebagai perintis neo-sufisme. Konsep neo-sufisme yang digulirkan Ibnu Taimiyah ini dikemudian hari dikembangkan oleh beberapa ulama terkemuka, seperti Ahmad Sirhindi (871-1034 H./1564-1624 M.) dari anak benua India. Muhammad Abd. Haq Ansari yang secara khusus mengkaji pandangan sufisme Ahmad Sirhindi lewat disertasinya yang berjudul Sufism and Shari’ah: A Study of Shaykh Ahmad Sirhindi’s Effort to Reform Sufism mengatakan bahwa dalam masalah kasyf Sirhindi jauh berbeda dari al-Gazali. Pertama, ia menentang kasyf sebagai sumber pengetahuan mandiri yang sejajar dengan wahyu Ilahi berkaitan dengan masalah-masalah keimanan. Kedua, walau dalam posisi sebagai penafsir, namun demikian kasyf tidak terbebas dari kekeliruan, sebagaimana juga ijtihad dari seorang mujtahid, kasyf, seorang sufi dapat saja benar, tetapi juga dapat salah. Ketiga, apabila gagasan sufi dalam pandangan kasyf ternyata bertentangan dengan akidah (teologi) kaum ahl al sunnah, maka hal tersebut hendaknya dipandang sebagai produk mabuk (sakr) seorang sufi dan harus ditolak sebagai ketidakbenaran.
Katika Hamka menulis bukunya yang terkenal, Tasawuf Modern, beliau sesungguhnya telah meletakkan dasar-dasar sufisme baru di tanah air kita. Di dalam buku itu terdapat alur pikiran yang memberi apresiasi yang wajar kepada penghayatan esoteris Islam, namun sekaligus disertakan peringatan bahwa esoterisme itu harus tetap terkendalikan oleh ajaran-ajaran standar syariat. Menurut Nurcholish Madjid, Hamka sesungguhnya masih tetap dalam garis kontinuitas dengan pemikiran Imam al-Gazali. Bedanya dengan al-Gazali ialah bahwa dia menghendaki suatu penghayatan keagamaan esoteris yang mendalam, tetapi tidak dengan melakukan pengasingan diri (‘uzlah), melainkan tetap aktif melibatkan diri dalam masyarakat. Pandangan ini paralel dengan kandungan sebuah risalah kecil yang berjudul al-Rhaniyah al-Ijtima’iyah (Spiritualisme Sosial), terbitan Al-Markaz al-Islamiy (Islamic Center), Jenewa pimpinan Sa’id Ramadlan. Di dalamnya, antara lain, memuat peringatan keras terhadap cara hidup spiritualisme pasif dan tindakan isolatif. Isi buku kecil ini pada dasarnya, demikian kata Nurcholish Madjid, mengemukakan nilai yang sudah secara umum diketahui kaum muslimin, yaitu nilai atau prinsip keseimbangan (tawazun).

Prinsip keseimbangan ini juga dapat diperoleh dari ajaran Alquran. Allah SWT. berfirman: “Dan langit pun ditinggikan oleh-Nya, serta diletakkan oleh-Nya (prinsip) keseimbangan. Agar janganlah kamu (manusia) melanggar (prinsip) keseimbangan itu”. (QS. 55; 7-8). Kalau diperhatikan dengan sesama firman yang mengaitkan prinsip keseimbangan itu dengan penciptaan langit, kita pun tahu bahwa prinsip keseimbangan adalah hukum Allah untuk seluruh jagat raya, sehingga melanggar prinsip ini merupakan suatu dosa kosmis, karena melanggar hukum yang menguasai jagat raya. Kalau manusia disebut “jagat kecil” (mikrokosmos), maka, tidak terkecuali, manusia pun harus memelihara prinsip keseimbangan dalam dirinya sendiri, termasuk dalam kehidupan spiritualnya.
Sebagai seorang cendekiawan muslim yang banyak mengenal pemikiran kaum pembaharu klasik, semisal Ibnu Taimiyah dan Ibnu Qayyim serta tokoh-tokoh pemikir modern, sepeti Fazlur Rahman dan Hamka, Nurcholish Madjid menegaskan bahwa al-tasawuf al-‘a¡riy (tasawuf modern) atau neo-sufisme (sufisme-baru) yang memerlukan perlunya perlibatan diri dalam masyarakat secara lebih kuat daripada sufisma-lama, dan lebih menekankan keseimbangan antara tuntutan jasmaniah dan rhaniyah adalah pandangan yang konsisten dengan ajaran Islam yang sahih. Jika dilihat dari sudut perspektif pengembangan nilai-nilai kemanusiaan, pandangan hidup partisipatif dalam kehidupan masyarakat ini jelas memberikan kondisi dan etos kerja yang lebih memungkinkan bagi pengembangan ilmu dan keselamatan umat manusia daripada sikap hidup isolatif yang lebih mementingkan keselamatan diri sendiri. Karena, memang, misi utama diutusnya Rasul SAW. adalah pemberi rahmat bagi seluruh alam.
D. Kesimpulan
Makrifat menurut al-Gazali, berarti ilmu yang tidak menerima keraguan. Sebagai ilmu yang tidak menerima keraguan disebut pula oleh al-Gazali dengan ilmu yang meyakinkan, yaitu ilmu di mana yang menjadi obyek pengetahuan itu terbuka dengan jelas sehingga tidak ada sedikitpun keraguan terhadapnya; dan juga tidak mungkin salah atau keliru, serta tidak ada ruang di qalbu untuk itu. Jadi, ia tidak hanya terhindar dari segala keraguan, tetapi juga terbebas dari segala kesalahan dan kekeliruan. Inilah, menurutnya, pengetahuan yang benar yang dibangun di atas dasar keyakinan yang sempurna (haqq al-yaqin)
Makrifat, sebagai pengetahuan yang hakiki dan meyakinkan, menurut al-Gazali, tidak didapat lewat pengalaman inderawi, juga tidak dicapai lewat penalaran rasional, tetapi lewat kemurnian qalbu yang mendapat ilham atau limpahan nur dari Tuhan sebagai pengalaman sufistik. Di sini, tersingkap segala realitas yang tidak dapat ditangkap oleh indera dan tidak terjangkau oleh akal (rasio). Karena itu, teori pengetahuan menurut al-Gazali disebut dengan kasyf yang menghasilkan ilmu mukasyafah sebagai kebalikan dari ilmu mu’amalah atau ilmu muktasabah.
Teori pengetahuan kasyfiy atau ‘irfaniy yang tidak menekankan peran indera dan rasio dipandang telah ikut melemahkan semangat seseorang untuk bergelimang dalam ilmu pengetahuan dan filsafat. Orang lari dari dunia nyata yang obyektif ke dunia gaib yang tidak dapat ditangkap oleh indera dan nalar. Orang lebih mementingkan kebahagiaan diri sendiri daripada kebahagiaan dan keselamatan umat manusia. Karenanya, orang lebih tertarik pada sikap hidup isolatif daripada sikap hidup partisipatif. Sikap hidup seperti ini berakibat pada banyaknya persoalan kemanusiaan tidak terurus yang sebenarnya menjadi tugas manusia.
Apapun dan bagaimanapun kritik orang kepadanya, al-Gazali diakui amat berjasa dalam menstabilkan pemahaman umat terhadap ajaran agamanya. Dilihat dari sudut perkembangan tasawuf, dia telah mampu menciptakan “kerjasama” antara tasawuf dengan bidang-bidang lain, khususnya akidah dan syariah. Bahkan, kita telah berhasil memberikan tempat yang mapan kepada esoterisisme Islam itu dalam keseluruhan paham keagamaan yang dipandang sah atau ortodoks. Beberapa orang pengamat memandang usaha al-Gazali merekonsiliasi antara tasawuf dengan aspek-aspek ajaran Islam yang lain, yang sebelumya sering dipertentangkan, adalah yang terbesar dan paling berhasil di antara usaha yang pernah dilakukan.
Dikatakan, bahwa penyelesaian yang ditawarkan oleh al-Gazali begitu hebatnya sehingga memukau dunia intelektual Islam dan membuatnya seolah-olah terbius dan tak sadarkan diri. Menurut Nurcholish Madjid, al-Gazali sedemikian komitnya memberikan penyelesaian masalah-masalah keagamaan Islam itu, sehingga yang terjadi sesungguhnya ialah bahwa dia bagaikan telah menciptakan sebuah kamar untuk umat, yang walaupun sangat nyaman, tapi kemudian mempunyai efek pemenjaraan kreativitas intelektual. Umat Islam tidak akan mendapatkan kembali dinamika intelektualnya jika tidak berhasil mendobrak kamar tersebut.
Keterpenjaraan dan kemandekan kreativitas intelektual, seperti dinyatakan di atas, ternyata memang didukung oleh gejala-gejala pada umat Islam yang di sana pengaruh paham al-Gazali sangat dominan. Walaupun demikian, ia merupakan masalah besar yang masih kontroversial. Masih merupakan tanda tanya yang menuntut pengkajian yang mendalam, apakah memang karena paham yang dibawa al-Gazali itu, atau faktor lain hingga terjadi stagnasi kreativitas intelektual umat Islam. Wallah a'lam bishshawab.




Keanehan dalam islam
Kesalahan fatal yang dilakukan oleh Al Ghazali dalam Tahafut al Falasifah adalah membeberkan perdebatan filsafat kepada kalangan awam. Akibatnya bukan saja merusak cara keberagamaan mereka yang bersifat retorik, tapi juga menodai pemikiran filosof yang didasarkan pada logika demonstratif.
Memperbincangkan kembali tentang perdebatan sengit antara dua tokoh besar Islam, Al Ghazali dan Ibnu Rushd, tak pernah kehilangan daya tariknya. Hal itu pula yang menarik Jaringan Islam Liberal (JIL) untuk mengangkat karya-karya Ibnu Rushd sebagai bahan pengajian Ramadlan tahun ini. Ada tiga kitab Ibnu Rushd yang akan dibedah dalam pengajian itu, yaitu Tahafut al-Tahafut, Fashl al-Maqal fima bain al-Hikmati wa al-Syari’ati min al-Ittishal,dan Bidayah al-Mujtahid. Pengajian pertama dibuka pada malam selasa 10/10 lalu dengan menghadirkan dua pembicara, yakni Mohamad Guntur Romli, dari Jaringan Islam Liberal dan mahasiswa Filsafat Al-Azhar Kairo dan Dr. Zainun Kamal, dosen filsafat Pasca Sarjana UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. Keduanya mencoba membedah karya monumental Ibnu Rushd, Tahafut al-Tahafut.
Ibnu Rushd adalah salah seorang filosof muslim yang hidup pada abad XII. Ia dikenal sebagai seorang penyelamat ruh filsafat yang telah hampir mati dihantam oleh Al Ghazali melalui karyanya Tahafut Al Falasifah. Ibnu Rushd, melalui bukunya Tahafut al-Tahafut kembali menyerang Al Ghazali yang dianggapnya telah merancukan pemikiran filsafat. Perang pena antar dua tokoh besar Islam ini menurut Guntur bukan hanya terjadi pada tulisan monumentalnya Tahafut al-Tahafut. Sebelumnya Ibnu Rushd telah beberapa kali mengkritik Al Ghazali dalam beberapa tulisannya. Kitab Fashl al Maqal, misalnya, merupakan serangan balik atas kitab Al Ghazali Faishal al Tafriqah bain al Islam wal al Zindiqah. Begitu pula kitabnya Bidayah al-Mujtahid juga merupakan tandingan atas kitab Al Ghazali, Bidayah al-Hidayah.
Ambisi Ibnu Rushd dalam menyerang Al Ghazali ini disinyalir oleh Guntur sebagai sebuah pertarungan politis. Hal itu bisa dilihat dari biografi Ibnu Rushd yang hidup pada masa dinasti Muwahhidin yang sangat mengagungkan filsafat. Sebelum dinasti Muwahidin, Cordova dikuasai oleh dinasti Murabithin. Dinasti ini sangat membenci filsafat dan mengedepankan pandangan fikih Dzahiri. Pada masa ini pula imam Al Ghazali menghabiskan hidupnya. Sementara ketika kepemimpinan negara diambil alih oleh Ibnu Tumurt, filsafat mulai dikembangkan kembali. Pertarungan politis dan ideologis di level pemerintahan itu sangat berpengaruh pada kehidupan Ibnu Rushd. Hal itu bisa dimaklumi karena Ibnu Rushd besar di lingkungan pemerintah. Kakek dan ayahnya adalah mantan hakim agung di Cordova. Bahkan ketika dinasti Muwahhidin di bawah kepemimpinan Abu Ya’kub, Ibnu Rushd juga menduduki tiga jabatan penting dalam pemerintahan, yaitu sebagai ketua hakim agung (qadhi al-qudhat), dokter istana, dan penasehat raja. “Sebagai seorang negarawan yang loyal, Ibnu Rushd tentu merasa berkepentingan untuk membela ideologi negara”, papar aktivis Jaringan Islam Liberal lebih lanjut.
Sementara itu DR. Zainun Kamal yang merupakan pakar pengkaji Tahafut al Tahafut menjelaskan kerancuan Al Ghazali dalam Tahafut al Falasifah. Menurutnya klaim Al Ghazali atas kerancuan filsafat semata-mata karena kesalahpahamannya dalam memahami filsafat. Dalam mempelajari filsafat, Al Ghazali disinyalir tidak mengambil sumber primer. Para filosof yang dikafirkan Al Ghazali karena mengatakan kekadiman alam, keterbatasan pengetahuan Tuhan pada yang universal, serta kebangkitan jasmani, sebenarnya mendasarkan logikanya pada filsafat Aristoteles. “Sementara Al Ghazali tidak membaca karya-karya Aristo”, tandas Zainun. Ia hanya membaca buku-buku terjemahan Aristo yang sudah banyak mengalami distorsi dari kalangan kristiani. Atau bahkan ia hanya membaca buku-buku Aristotelian yang telah ditulis ulang oleh para filosof muslim. Sehingga pemikiran itu sudah banyak bercampur dengan pemikiran-pemikiran Islam, khususnya filsafat paripatetik. “Inilah kerancuan Al Ghazali yang ingin ditunjukkan oleh Ibnu Rushd dalam Tahafut al Tahafut”, jelas Dosen filsafat UIN, Jakarta.
Kitab setebal seribuan halaman itu menurut Guntur Ramli, mengomentari dua puluh masalah tentang metafisika dan ketuhanan yang dibahas Al Ghazali dalam Tahafut al Falasifah. Tujuh belas di antaranya, menurut Al Ghazali menyebabkan orang yang mempelajarinya menjadi zindik. Sementara tiga masalah yang lain menyebabkan orang menjadi kafir. Tiga masalah yang dimaksud adalah kekadiman alam, keterbatasan ilmu Tuhan pada hal yang universal, dan kebangkitan jasmani pada hari kiamat.
Takfir Al Ghazali atas para filosof itu, menurut aktvis Jaringan Islam Liberal, Guntur Ramli, tidak fair. Pasalnya pendapat para filosof tentang masalah metafisika dan ketuhanan di atas didasarkan pada logika filsafat. Sementara oleh Al Ghazali dipahami dengan logika teologis. “Perdebatan para filosof itu adalah perdebatan filosofis, tetapi Al Ghazali memahaminya dengan pemahaman teologis. Inilah yang akhirnya menimbulkan kesalahpahaman terhadap filsafat”, tegasnya.
Oleh karena itu Ibnu Rushd dalam kitabnya yang lain (Fashl al Maqal) menegaskan bahwa perdebatan atau pembicaraan filsafat tidak bisa disebarluaskan kepada sembarang orang. Hal itu bisa menimbulkan fitnah dan klaim takfir. Ibnu Rushd menggolongkan masyarakat pada tiga level. Pertama, orang awam, yaitu orang-orang yang hanya bisa memahami teks agama secara retorik dan lahiriah saja. Kedua, orang khawas, yaitu orang-orang yang mampu memahami makna tersirat dari sebuah teks. Mereka inilah yang dimaksud sebagai filosof atau ahli hikmah. Golongan ini mampu memahami mawjudat (segala ciptaan Tuhan yang ada) dengan pendekatan burhani (demonstratif). Sementara di antara keduanya terdapat mereka yang dianggap sebagai mutakallimun, yaitu orang-orang yang memahami teks atau maujudat dengan pendekatan jadali (dialektis).
Menurut Ibnu Rushd masing-masing golongan tersebut tidak boleh melampaui kapasitasnya. Kesalahan fatal yang dilakukan oleh Al Ghazali dalam Tahafut al Falasifah adalah membeberkan perdebatan filsafat kepada kalangan awam. Akibatnya bukan saja merusak cara keberagamaan mereka yang bersifat retorik, tapi juga menodai pemikiran filosof yang didasarkan pada logika demonstratif. Ibnu Rushd mentamsilkan bahwa pemikiran bisa menjadi “makanan” bagi seseorang, namun bisa menjadi “racun” bagi yang lain. Jika seseorang tidak bisa membedakan antara “racun” dan “makanan”, berarti ia adalah orang bodoh (al-jahil ). Namun jika ia telah mengetahui hal itu “racun” dan tetap memberikannya kepada orang lain sebagai “makanan”, maka dia adalah orang jahat (al-syirrir).
Perdebatan filsafat Islam tentang ketuhanan dan persoalan metafisika, dinilai oleh Dawam Raharjo, intelektual muslim dan pendiri LSAF (Lembaga Studi Agama dan Filsafat), yang hadir dalam diskusi tersebut, sebagai pemikiran yang usang dan tidak relevan untuk konteks sekarang. “Oleh karena itu sudah sejak dulu, saya tinggalkan filsafat Islam”, tandasnya. “Hal ini berbeda dengan Barat yang pemikiran filsafatnya bisa memengaruhi perkembangan sain dan teknologi yang pesat.”
Pernyataan Dawam itu diamini oleh Guntur. Menurutnya tema-tema metafisika dan ketuhanan yang diangkat oleh Ibnu Rushd sudah sangat usang dan sudah tidak relevan lagi. Bahkan logika Aristoteles yang dikenal logika klasik yang sangat diagungkan Ibnu Rushd pun sudah banyak dibantah dan ditolak oleh filsafat modern. “Lalu apa yang tersisa dari pemikiran Ibnu Rushd untuk kita sekarang?”, tanya Guntur. “Menurut saya adalah masalah rasionalitas dan penghargaannya pada akal (al-ittijah al-aqlany ), dan metode kritisismenya (al-manhaj al-naqdy) yang bisa dikembangkan dari pemikiran Ibn Rusyd”.
Hal ini dibantah oleh Doktor dari UIN Jakarta. “Menurut saya, yang menolak filsafat Ibnu Rushd adalah orang awam”, tegas Zainun yang disambut oleh gelak tawa hadirin. “Barat bisa seperti sekarang itu sebetulnya banyak terinspirasi oleh Ibnu Rushd. Karya-karyanya banyak diterjemah dan dipelajari di sana. Bahkan hingga ada Avveroisme Latin dan sebagainya. Dan yang harus diingat bahwa buku Tahafut al-Tahafut ini telah memengaruhi para filosof Barat untuk mengkritik doktrin Gereja yang sangat dominan. Dari sinilah filsafat pencerahan itu dimulai.” “Memang Barat tidak berhenti pada Ibnu Rushd, tapi mengembangkannya lebih maju lagi. Lha kalau Islam malah ingin membuang filsafatnya, bagaimana Islam bisa maju?” tanya Zainun sinis. “Seharusnya kita yang mengembangkan”, tegas Doktor yang menulis disertasi tentang Ibnu Rushd mengakhiri pembicaraannya.[]
Metafisika
Lain halnya dengan lapangan metafisika (ketuhanan) al Ghazali memberikan reaksi keras terhadap neo platonisme Islam, menurutnya banyak sekali terdapat kesalahan filsuf, karena mereka tidak teliti seperti halnya dalam lapangan logika dan matematika. Menurut al Ghazali, para pemikir bebas tersebut ingin menanggalkan keyakinan-keyakinan Islam dan mengabaikan dasar-dasar pemuajan ritual dengan menganggapnya sebagai tidak berguna bagi pencapaian intelektual mereka.

Menurut Al Ghazali ilmu Tuhan adalah suatu tambahan atau pertalian dengan zat, artinya lain dari zat, kalau terjadi tambahan atau pertalian dengan zat, zat Tuhan tetap dalam keadaannya.
Al Ghazali membagi manusia kepada tiga golongan, yaitu :
a. kaum awam, yang cara berfikirnya sederhana sekali.
b. kaum pilihan, yang akalnya tajam dan berfikirnya secara mendalam.
c. kaum penengkar.

No comments:

Post a Comment